Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2025 semestinya menjadi momentum emas untuk merayakan kontribusi tak terhingga ulama dan santri dalam membentuk Republik Indonesia. Namun, tahun ini, perayaan tersebut diwarnai duka dan rasa sakit hati yang mendalam akibat dua gelombang narasi negatif yang menyerang institusi pondok pesantren (PP).
Gelombang pertama adalah eksploitasi musibah robohnya musala di PP. Al-Khaziny, Buduran, Sidoarjo, di mana empati kemanusiaan diganti dengan bullying, tuntutan pencabutan izin, dan bahkan penutupan pesantren. Gelombang kedua yang paling mutakhir, dan terasa lebih menusuk, adalah narasi yang disajikan dalam tayangan sebuah stasiun televisi nasional, Trans7, yang terkesan tendensius, merendahkan, dan menggiring opini publik untuk melihat kiai sepuh, khususnya di PP. Lirboyo, Kediri, seolah-olah hidup dalam kemewahan hasil eksploitasi.
Narasi-narasi ini, baik yang lahir dari musibah struktural maupun yang diproduksi media secara subjektif, menuntut kita, khususnya komunitas pesantren, untuk tidak hanya bertahan tetapi melakukan Jihad Konstitusional: menjawab fitnah dengan fakta, mencounter narasi negatif dengan sejarah autentik, dan membuktikan keunggulan pesantren melalui praktik nyata.
Dari Madura, Meneguhkan Lima Menara Ilmu
Universitas Islam Madura (UIM), sebagai kampus yang berakar kuat di bawah naungan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan, memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk menyuarakan bantahan terhadap narasi destruktif ini. Madura, melalui jejak langkah muassis Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet, K.H. Sirojuddin, yang merupakan pengusung Nahdlatul Ulama (NU) ke Pamekasan, selalu menjadi episentrum perjuangan keagamaan yang moderat dan kebangsaan yang militan.
UIM meneguhkan visinya menjadi Kampus Unggul dan Berdaya Saing Tingkat Asia 2045, dengan karakter kuat Islam Ahlussunah Waljamaah yang berbasis pada konsep pengembangan keilmuan Kompas Holistik Lima Menara Ilmu: Keislaman, Keaswajaan, Keindonesiaan, Kemaduraan, dan Kepesantrenan. Lima menara ini adalah landasan kuat untuk menepis segala tuduhan miring:
1. Kepesantrenan: Adalah fondasi yang menjamin sistem pendidikan terintegrasi, bukan sekadar tempat mengaji, melainkan laboratorium pembentukan karakter dan kemandirian.
2. Keaswajaan: Menjamin karakter keagamaan yang tawassut (moderat), tawazun (seimbang), dan inklusif, jauh dari ekstremisme yang kerap dituduhkan oleh pihak luar.
3. Keindonesiaan: Menegaskan bahwa pesantren adalah institusi yang terikat erat dengan NKRI, telah ada sebelum Indonesia merdeka, dan tidak pernah lepas dari perjuangan menjaga kedaulatan bangsa.
Revolusi Jihad 1945: Dokumen Otentik Pengorbanan Santri
Untuk menjawab tuduhan miring terhadap pesantren, kita harus kembali pada fakta sejarah yang tak terbantahkan, yang kini terukir abadi dalam Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional. Penetapan tanggal 22 Oktober adalah pengakuan resmi negara atas Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang diserukan oleh Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Ketika para petinggi negara di Jakarta masih mencari cara diplomasi pasca-Proklamasi, K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU, mengumpulkan konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura. Hasilnya adalah fatwa sakral yang mewajibkan setiap umat Islam, tanpa terkecuali, untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Isi Resolusi Jihad ini lugas: “Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu muslim)” bagi mereka yang berada dalam jarak 94 kilometer dari lokasi musuh.
Seruan ini melampaui batas-batas politik dan birokrasi, menjadi bahan bakar spiritual yang menggerakkan Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan seluruh santri dari pelosok desa. Puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, sebuah pertempuran heroik yang disulut oleh semangat Resolusi Jihad. Tanpa seruan jihad ini, yang mengorbankan ribuan nyawa santri dan ulama, semangat perlawanan rakyat Indonesia mungkin akan padam.
Inilah bukti otentik yang tidak bisa dihapus oleh narasi media: pesantren adalah institusi yang mempertaruhkan nyawa dan harta demi tegaknya NKRI. Institusi yang dituduh bermasalah hari ini, adalah institusi yang pada tahun 1945 menjadi garda terdepan pembela bangsa.
Menepis Fitnah dan Membangun Disiplin Struktural
Musibah Al-Khaziny Sidoarjo harus dilihat sebagai alarm untuk memperkuat disiplin struktural dan manajemen infrastruktur pesantren, bukan sebagai alasan untuk membubarkan lembaga yang merupakan aset peradaban. Narasi negatif yang meminta pencabutan izin karena musibah struktural adalah upaya yang sangat dangkal dan tidak adil. Jika logika ini dipakai, setiap kali terjadi musibah di institusi publik (misalnya robohnya jembatan atau kebakaran di pasar), maka institusi pemerintah terkait harus dibubarkan.
Kasus Lirboyo Kediri dan narasi yang merendahkan martabat kiai sepuh jauh lebih berbahaya karena menyerang kehormatan dan moralitas yang menjadi inti ajaran pesantren. Kiai adalah pewaris nabi (warasatul anbiya’), yang hidupnya didedikasikan untuk ilmu dan umat. Menggambarkan kiai seolah-olah eksploitatif dan hedonis adalah pelecehan terhadap tradisi keilmuan Islam Ahlussunah Waljamaah yang dipegang teguh oleh mayoritas rofession.
Jihad Konstitusional yang harus kita lakukan hari ini adalah:
1. Tindakan Hukum: Mendukung rofess-langkah hukum oleh alumni dan organisasi santri untuk menuntut pertanggungjawaban media yang lalai dan tendensius, guna memberikan efek jera dan mengembalikan rofes ulama.
2. Peningkatan Mutu Vokasi: Memanfaatkan keunggulan Kepesantrenan untuk menciptakan program vokasi dan kemandirian ekonomi yang teruji, membuktikan bahwa pesantren melahirkan santri yang cerdas, rofess, dan berdaya saing global.
3. Standarisasi Infrastruktur: Bekerja sama dengan pemerintah dan rofessional (seperti insinyur dan arsitek) untuk menerapkan standar bangunan yang aman dan berkelanjutan, membuktikan bahwa disiplin keilmuan modern dapat berjalan seiring dengan tradisi pesantren.
Sebagai akademisi kampus UIM dan pernah mengenyam Pendidikan Pesantren selama 16 tahaun, penegasan ini menjadi vital: Perjuangan santri tidak pernah usai. Jika di masa lalu jihad dilakukan dengan bambu runcing, hari ini jihad dilakukan dengan pena, ilmu, dan integritas profesional. Santri Madura, dengan nilai Kemaduraan yang teguh dan Keaswajaan yang moderat, berdiri di garis depan untuk membuktikan bahwa pesantren adalah Pilar Ketahanan Bangsa, bukan masalah bangsa. Kita tidak akan tinggal diam ketika sejarah heroik kami dicabik-cabik oleh narasi kebencian dan kebodohan media. Peringatan HSN 2025 adalah Deklarasi Perlawanan Narasi Negatif, demi Marwah Pesantren dan Kedaulatan NKRI.(*)
Penulis bernama Dr. H. Mohammad Subhan, M.A., Dosen Pascasaejana Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan.